HI FRIEND!!
hallo semua!!
Aku iseng2 bikin cerpen nih. sebenarnya ini dah lama banget selesainya, bahkan dah sempat aku tawarin ke koran2 lokal.tapi emang nasib gua,ditolak mulu.jadi daripada mubazir aku posting disini aja deh,enjoy...
hallo semua!!
Aku iseng2 bikin cerpen nih. sebenarnya ini dah lama banget selesainya, bahkan dah sempat aku tawarin ke koran2 lokal.tapi emang nasib gua,ditolak mulu.jadi daripada mubazir aku posting disini aja deh,enjoy...
Malam yang indah dihiasi bulan
purnama penuh, dengan pancaran cahayanya yang lembut. Suara jangkrik yang
gemericik kian menambah nikmat suasana malam itu. Fadli sedang duduk-duduk di
teras rumahnya untuk sekedar menenangkan fikirannya yang sungguh sangat penat.
Sudah satu jam berlalu, Fadli masih saja duduk diam di tempatnya sambil
memandangi bulan, entah apa yang ada di fikirannya saat itu. Tapi ia tampak
sangat nyaman dengan suasana mala mini, seakan tak ingin malam ini berakhir.
Fadli sebenarnya adalah anak yang
baik dan cukup rajin, ia juga anak yang taat beribadah. Akan tetapi kondisi
lingkungan dan tekanan terus-menerus terhadap dirinya yang sebenarnya memiliki
fisik yang lemah, membuat dirinya terlihat seperti orang yang malas da bodoh.
Tak jarang orang menilainya sebagai anti-sosial
Di tengah keasyikan Fadli bermenung
sendiri, datanglah seseorang berpakaian rapi dengan kemeja putih bergaris
hitam, celana kain dan jaket kulit berwarna hitam. “Assalamualaikum..” ucapan salam
ini menyentak Fadli yang bahkan tidak mengetahui bahwa orang ini telah sampai
di dekatnya.
Dalam keterkejutannya Fadli
menjawab, “Ah, walaikum salam, ada apa yang bang?”
“Numpang tanya nih bang, orang
yang tinggal di sebelah kemana yang bang?” Tanya orang tersebut.
Fadli yang memang pemalas ini
sebenarnya tidak pernah mau tahu tentang urusan orang lain, termasuk tetangga
di sebelahnya. Sehingga ia pun tidak tahu tetangga tersekatnya itu sedang
kemana. Namun Fadli merasa tidak enak untuk menjawab pertanyaan orang yang
kelihatannya sudah letih karena berjalan jauh itu dengan jawaban “tidak tahu”.
Sehingga ia memutuskan untuk menjawabnya “sepertinya mereka pergi ke rumah
sepupunya tidak jauh dari sini, paling besok sudah pulang”.
Mendengar jawaban Fadli yang
sebenarnya hanya asal itu, orang ini terlihat berfikir, kemudia ia berkata
kepada Fadli, “bang, bisa saya titipkan saja barang ini kepada abang, ini
kiriman untuk orang sebelah. Di dalamnya ada surat untuk mereka dari kampung.”
Mendengar perkataan ornag itu,
Fadli melongo sebentar sambil
berfikir. Ia sebenarnya paling malas jika harus mencampuri urusan orang
lainseperti ini, meskipun hanya untuk menyampaikan titipan saja. Namun
kebengalannya luluh karena merasa iba dan tidak enak terhadap orang itu. Akhirnya
diterimanya juga barang tititpan itu. Kemudian setelah menucapkan terima kasih
dan berbasa-basi sebentar, orang itupun pamit.
Lama terfikir oleh Fadli, mau
diapakannya barang itu, sementara ia tidak tahu tetangganya pulang kapan.
Padahal di dalam ini ada surat yang bisa jadi harus disampaikan secepatnya.
Fadli tiba-tiba sangat peduli terhadap barang itu, padahal biasanya ia sangat
tida peduli terhadap urusan yang tidak berkaitandengan dirinya. Akhirnya
diletakkannya saja barang tititpan tersebut di ruang tamu, kemudian ia
melanjutkan renungannya yang sempat terganggu.
Keesokan harinya, Fadli kembali
beraktifitas yang seperti biasa diiringi dengan bermalas-malasan seperti biasa.
Ibunya tak henti mengingatkannya tentang bahaya bermalas-malasan itu sambil ia
berberes-beres rumah. Di tengah “ceramah hariannya itu” ibu menemukan sesuatu
yang asing baginya di ruang tengah rumah. Lekas saja ditanyakannya pada Fadli
yang sampai larut malam tadi masih saja duduk-duduk di depan rumah. “Fadli, apa
kamu yang naruh barang di ruang tengah ini?”
“barang yang mana bu?” Tanya
Fadli masih belum sadar.
“ini, barang yang dibungkus
kantong plastic berwarna merah” jawab ibu Fadli.
“oh, yang itu. Kemarin orang
menitipkan barang untuk tetangga sebelah, di dalamnya ada surat juga katanya.”
Ibu Fadli kemudian mengernyitkan
dahinya, kemudian berkata,”lho,
tetangga kita kan udah pindah sebulan
yang lalu, ngapain barangnya di titipin di sini?”
Fadli terkejut, kemudia ia
berujar, “hah! Terus gimana dong bu?”
“yah ini namanya sudah amanah
nak, harus di sampaikan bagaimanapun sulitnya. Jika tidak, kita akan termasuk ke
dalam golongan orang-orang yang munafik.” Ibunya pun tak lupa menambahkan dalil-dalil
agama dalam ucapannya tersebut.
Fadli terkejut medengar keputusan
ibunya tentang barang titipan tersebut, dalam hatinya sebenarnya ia ingin
protes, namun kata-katanya tertahan di ujung lidahnya karena tak tahu apa yang
harus di ucapkan. Terlebih lagi ibunya sudah mengeluarkan dalil-dalil dari
Al-Qur’an dan hadits, ia pun hanya dia diam dan menurut saja. Kemudian dengan
lemas Fadli mengambil plastik merah berisi barang titipan tersebut.
“ya deh bu, tapi ibu bantuin
nyari yah.” Tmpbah Fadli masih tak ikhlas.
“Nggak bisa nak, ibu banyak
kerjaan di rumah. Begini saja, setahu ibu. Pak Haji Samad sangat dekat dengan
keluarganya Yanti. Rumahnya dua gang dari sini, rumahnya bercat hijau
satu-satunya di sana. Coba kamu tanyakan ke sana, kalau bisa kamu minta juga
nomor telepon rumah Yanti yang baru.”
“Hmph, ya bu. Fadli pamit dulu,
Assalamualaikum..”
“walaikum salam warahmatullah..”
Akhirnya Fadli pergi menuju ke
rumah pak Samad itu, Meski dengan langkah yang berat dan sesekali ngedumel sendiri di jalan. Sampailah ia
di depan rumah pak Samad itu.
“permisi, Assalamualaikum..’
Fadli memberi salam.
Tak lama kemudian kelur seorang
gadis dengan paras jelita dari dalam rumah, meskipun sedang di rumah namun
pakaiannya tetap sopan dan enak di pandang mata.
“walaikum salam.. cari siapa yang
bang?” sahut gadis itu.
Melihat gadis berparas bak
bidadari dari surge firdaus tersebut, Fadli pu terkesima. Tubuhnya yang
sejakpergi ari rumah tadi sudah lemas, kini bertambah lemas, namun kini
bukanlah lemas karena kemalasan, akan tetapi karena tersihir oleh pesona sang
gadis gelita dari rumah pah Haji Samad. Fadlipun terdiam sejenak.
“bang1 cari siapa bang?” tegur
sang gadis yang melihat Fadli terdiam.
“eh, ini dek,apa benar di sini
rumahnya pak Samad?” jawab Fadli.
“iya bang betul, ada apa yah
bang?”
“ini, saya datang kemari untuk
menayakan alamat dari rumah Yanti yang dulu rumahnya dua gang dari sini.”
“oh, kalau begitu mari silahkan
masuk dulu bang.”
“oh, jadi abang ini tetangganya Yanti,
kok abang nggak tau sih kalau Yanti udah pindah?” Tanya gadis itu sambil
membawakan segelas air putih ke tempat Fadli duduk di ruang tamu.
“iya nih, saya nggak sadar
tiba-tiba rumah Yanti udah kosong aja” jawab Fadli sambil garuk-garuk kepala.
“hmm, ini alamat dan nomor
telepon rumah barunya Yanti” kata gadis itu sambil memberikan secarik kertas
kepada Fadli.
Mata Fadli terbelalak melihat
alamat yang tertera di kertas tersebut, “wah, ini kan sudah di luar kota!” kata
fadli reflek.
Si gadis hanya tersenyum saja
mendengar ucapan Fadli tersebut, fadli pun tak mampu berbasa-basi lagi. Ia pun
langsung pamit kepada si gadis jelita. Mungkin bagi sebagian pemuda lain mereka
tidak akan lekas meninggalkan rumah itu, melihat keelokan paras si gadis
jelita. Apalagi yang ada di rumah itu hanya mereka berdua. Namun Fadli tidak
demikian, ia diajarkan oleh orang tuanya tentang bertata karma dengan baik,
termasuk adab menghadapi lawan jenis yang bukan mahram. Karena jika sikap kita
berlebihan makan akan selalu membuka jalan bagi setan untuk menghasut.
Selepas dari rumah pak Samad,
Fadli kemudian memulai pencarian rumah Yanti
berbekal alamat yang diberikan gadis tadi. Fadli berjalan menuju pemberhentian
angkutan kota terdekat,menaiki angkutan kota ia turun di terminal, kemudian
menaiki oplet satu di sambung menaiki oplet lainnya. Terakhir ia harus menaiki
mobil tambang antar kota.
Perjalannan ini memakan ongkos
yang tidak sedikit bagi Fadli, uang yang diberikan ibunya tidak akan cukup
untuk ongkos pulang-pergi. Beruntung Fadli masih punya uang simpanan sisa dari
jajannya yang biasanya di pergunakan untuk keperluan mendadak. Terpaksalah ia
harus berkorban uang sedikit.
Setelah perjalanan yang cukup
lama, sampailah Fadli ke desa Sungai Pagar.meskipun jaraknya tidak begitu jauh
dari kota, namun kondisi daerah ini begitu jauh berbeda dengan kota,
lingkungannya sangat asri, hijau dan sejuk. Dari sinilah dimulai fase tersulit
dari misi pencarian rumah Yanti, karena ia harus berjalan kaki ke dalam desa
sekarang.
Perjalanan dilanjutkan, Fadli
bertanya ke rumah-rumah warga perihal alamat yang tertera di secarik kertas
yang diberikan gadis jelita dari rumah pak Samad. Ada warga yang tidak tahu,
ada yang menunjukkan arahnya saja, adajuga yang menunjukkan jalannya secara
spesifik namun bahasanya sungguh sangat tidak dimengerti Fadli, karena
bercampur aduk dengan bahasa daerah.
Teleh lelah Fadli berjalan,
alamat yang di cari tidak ditemukan juga. Fadli mulai putus asa, dipandangnya
terus secarik kertas berisi alamat tersebut, setelah lama memandang tiba-tiba
Fadli baru tersadar bahwa di kertas ini juga tertera nomor telepon rumah Yanti,
tanpa berfikir panjang fadli pun mengeluarkan hand phone nya, dan dipencetnya dengan seksama nomor demi nomor
yang tertera di kertas agar tidak salah sambung nanti.
Fadli menempelkan hand phone itu ke telinganya sambil
berharap-harap cemas. Jantungnya berdegup kencang, keringat mulai bercucuran.
Dalam hatinya sempat terbesit keraguan atas kebenaran nomor telepon ini,
“semoga tidak salah nomor, semoga tidak salah
nomor” begitu kata-kata yang terus diucapkannya sembari menanti panggilan
teleponnya diangkat.
“Halo, Asslamualaikum..” jawab
seseorang di telepon.
Wajah Fadli mulai cerah karena
merasa mengenal suara di telepon itu.
“walaikum salam, ini Yanti yah?
Saya Fadli tetangga kamu waktu di Pekanbaru dulu” ujar Fadli dengan yakin.
“Fadli?” Yanti berfikir sejenak,
“oh, Fadli tetangga lama, Aku baru ingat. Kok tumben amat nelepon-nelepon ke
sini? Padahal waktu di Pekanbaru aja jarang nyapa.”
Fadli agak kesal mendengar
pertanyaan usil dari Yanti, tapi kemudian ia sadar akan kesalahannya. Sambil
tersenyum ia menjawab, “ehehe… iya, maaf soal yang dulu itu yah,
ngomong-ngomong saya udah di desa Sungai pagar nih, saya bawa titipan dari
seseorang yang datang ke rumah kemarin. Dia gak
tau kalau kamu udah pindah rumah.”
“Tapi masalahnya aku belum nemu
rumah kamu nih, padahal aku udah jalan sekitar sati jam lebih.” tambah Fadli.
Yanti sangat terkejut mendengar
perkataan Fadli. “oh ya? Kamu beneran udah sampai Sungai pagar? Kamu lagi di
jalan apa?” Tanya Yanti lagi.
“di, di jalan serayu.” Kata Fadli
sambil melihat papan nama jalan yang ada tak ajauh dari tempatnya beristirahat.
“lah, itu tinggal terus aja,
bakalan sampai ke rumah ku di jalan cendana, terus cari aja rumah dari papan
bercat hijau yang di depannya ada pohon sawo.”
“oh, ya! Oke deh kalau begitu aku
langsung aja kesana yah, Assalamualaikkum….” Jawab Fadli yang tiba-tiba menjadi
bersemangat.
‘walaikum salam” jawab Yanti.
Setelah berjalan sedikit, tibalah
Fadli di tempat tujuan. Ia langsung dipersilahkan masuk oleh Yanti. Mereka
kemudian berbincang-bincang akrab. Kebekuan silaturahmi mereka selama di kota
langsung mencair di sini. Tak lama kemudia muncul orang tua Yanti.
“eh, ada Fadli. Sama siapa kamu
kesini?” Tanya ibu Yanti ramah.
“saya datang ke sini sendiri
tante, mau mengantarkan titipan buat keluarga tante beserta surat dari
kampung.’jawab Fadli.
Setelah menyerahkan titipan
tersebut Fadli kemudian berbincang-bincang lagi dengan keluarga Yanti. Ia
menceritakan tentang perjalanannya menuju ke desa ini. Orang tua Yanti sangat
terkesan, sementara Yanti ketawa-ketawa sendiri mendengar cerita itu, mengingat
Fadli yang dulu di kota di kenal sangat pemalas dan acuh kepada lingkungan
social di sekitarnya. Kini terpaksa harus bekerja keras mengurus kepentingan
orang lain.alangkah lucunya wajah Fadli saat itu, Fikir Yanti.
Setelah puas berbincang dan
menghabiskan teh hangat yang dibuatkan Yanti, Fadlipun pamit kepada keluarga Yanti,ia
pun pulang dengan perasaan lega.
Sepulangnya Fadli, ayah Yanti
lantas menelepon pak Samad sahabatnya di Pekanbaru.
“Assalamualaikum pak Samad!” Sapa
ayah Yanti akrab.
“walaikum salam warahmatullah! Apa
kabar pak Abdul? Sehat?” jawab pak Samad tak kalah akrab.
“Alhamdulillah pak, Pak Samad
masih ingat tidak tentang cerita bapak yang ingin mencarikan jodoh untuk Fatiha
anak bapak yang cantik jelita itu?”
“iya pak saya masih ingat, kenapa
pak?”
“begini pak, saya punya
rekomendasi pemuda yang pas untuk putrid bapak, ia tinggal dekat lingkungan
bapak juga. Tepatnya di sebelah rumah saya yang dulu pak.”
0 comments:
Post a Comment